5 Fakta Tentang Insiden Maut Tewasnya Bocah Ketika Pembagian Sembako di Monas
5 Fakta Tentang Insiden Maut Tewasnya Bocah Ketika Pembagian Sembako di Monas |
Kedua bocah itu harus bernasib malang dan terjepit dalam sesak lautan manusia. Anehnya, ada hal yang masih mengganjal di hati keluarga mereka yang ditinggalkan. Kasus yang akan diusut ini masih simpang siur dan belum ada keputusan finalnya. Nah, untuk lebih detail, inilah fakta di balik kematian 2 bocah yang ikut berebut sembako ini.
Kronologi kejadian di lapangan
Pada hari pembagian sembako, korban bernama Rizki diajak oleh sang ibu, Komariah turut serta mengantre di halaman Monas. Rizki yang menderita Down Syndrome memang dibawa serta karena tidak bisa ditinggal sendiri di rumah. Namun, kondisi yang panas serta sesak manusia membuatnya terhimpit dan lepas dari pegangan sang ibu. Rizki terseret dan terinjak, Komariah sempat membawa anaknya keluar dari kericuhan tersebut ke bawah pohon. Saat itu, Rizki sudah kejang dan muntah-muntah. Rizki dinyatakan meninggal setelah menjalani sejumlah perawatan di RSUD Tarakan pada pukul 04.35.
Sedangkan korban bernama Mahesa yang juga ikut dalam aksi sama juga tidak bisa terselamatkan. Mahesa juga dibawa ke rumah sakit yang sama. Namun, menurut keterangan dokter, ia dinyatakan meninggal karena persistensi hiperpireksia (suhu badan di atas 40 derajat Celsius) dan heat stroke (dehidrasi).
Panitia tidak memberikan pertolongan
Mengenai kematian kedua bocah di atas, orangtua dari Rizki sempat meminta pertolongan kepada pihak panitia setelah membawa anaknya ke bawah pohon. Sayang, beberapa panitia di TKP terkesan abai dan tak menggubris hal ini. Komariah akhirnya dibantu oleh dua orang TNI yang sedang bertugas.
Rizki kemudian dibawa ke tenda medis. Namun, kekurangan peralatan untuk pertolongan membuat bocah tersebut dilarikan ke RSUD Tarakan hingga akhirnya meninggal dunia.
Adanya dugaan pemberian uang ‘bungkam’ mulut oleh panitia
Atas kasus ini, Muhammad Fayyadh selaku kuasa hukum keluarga korban mengatakan jika ia akan menuntut kasus ini sampai selesai. Namun, ada hal mengganjal yang disampaikan oleh Fayyadh, yaitu adanya perwakilan relawan Merah Putih yang datang menyampaikan belasungkawa dengan membawa sejumlah uang dan meminta keluarga korban tutup mulut.
Menurut pengakuan kakak dari korban, relawan tersebut datang dua hari pasca kejadian dengan membawa uang 5 juta rupiah. Sedangkan untuk korban Mahesa, uang yang diberikan yaitu 10 juta. Dengan cara ‘bungkam’ melalui uang tersebut mereka meminta untuk tidak menceritakan kronologis ini kepada siapapun. Dengan tegas, Fayyadh mengaku tetap akan membuka hal ini kepada publik.
Perbedaan cerita versi keluarga dan Polda Metro Jaya
Ada perbedaan versi cerita keluarga dengan pihak Polda Metro Jaya. Seperti yang sudah penulis jabarkan di atas, keluarga percaya jika kematian kedua bocah tersebut karena insiden maut berdesakan saat pembagian sembako. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wagub DKI, Sandiaga Uno. Ia bahkan meminta maaf atas tindakan yang menghilangkan nyawa dua anak asal Pademangan, Jakarta Utara tersebut.
Sementara itu, Polda Metro Jaya ada di pihak oposisi yang tak sepakat dengan pernyataan Sandiaga dan keluarga korban. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono bahkan mengatakan hal tersebut keliru, karena bisa jadi keduanya meninggal sebab terlalu tingginya suhu badan dan kekurangan cairan (dehidrasi).
Meminta kasus diusut sampai tuntas
Ya, di tengah kesimpangsiuran berita, kuasa hukum dari ibu korban sudah menuntut ketua panitia pelaksana acara, Dave Revano Santosa. Melalui kuasa hukumnya, dalam laporan LP/578/V/2018/Bareskrim Dave dijerat dengan pasal 359 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.
Palaporan ini jelas atas dasar kelalaian Dave dalam mengelola sebuah acara hingga berujung jatuhnya korban jiwa. Yang paling menjadi sesalan dan ganjalan di hati adalah kurangnya pengarahan kepada panitia penyelenggara yang kesannya acuh terhadap Rizki yang ketika itu butuh pertolongan.
Memang, kegiatan yang melibatkan ribuan jiwa yang sering diadakan ini dapat dipastikan memantik kericuhan. Ditambah lagi, menurut Sandiaga, persiapan acara memang tidak matang, bisa dilihat dari tidak adanya antisipasi panitia terhadap acara yang membludak. Jika mungkin peserta antre bisa dikondisikan, mungkin tak akan ada korban jiwa yang melayang.
Post a Comment